The Name of The Sin

THE NAME OF THE SIN


“Aaah… sungguh bayi yang sangat manis,” sebuah pujian keluar dari mulut seorang wanita—dengan sayap hitam yang melekat di punggungnya —yang tengah melihat kelahiran seorang bayi dari tempatnya— di atas langit. Dia adalah seorang dewi, dewi yang mengatur takdir setiap orang di dunia.
“Ooh iya… aku tahu,” ucapnya lagi. “Bagaimana kalau kita sedikit bermain-main… bayi kecil yang lucu,” sebuah senyuman jahil tergaris di wajahnya.


***
                “Mira… tunggulah di sini sebentar, ibu akan segera kembali,” begitulah ucapan ibuku… namun hingga 10 tahun—hingga umurku sekarang 15 tahun —ia tidak pernah kembali. Aku tahu… mungkin ibu meninggalkanku karena ia malu, memiliki 



mungkin akan berubah menjadi darah yang terus membasahi wajah menjijikkan ini.
Aku selalu berdo’a kepada dewi takdir, aku memohon kepadanya untuk mengabulkan keinginan terbesarku… untuk memiliki seorang teman, teman yang selalu berada bersamaku, menghibur ketika aku sedih, menemani ketika aku kesepian, dan membantu ketika aku mengalami kesulitan, jika hal itu terkabul… hidupku akan berubah menjadi sangat indah dan menyenangkan —atau setidaknya itulah yang aku pikirkan.
***
“Hey! lihat… ada monster datang!” ucap seorang pemuda ke teman-temannya.
Lagi… hari ini, untuk kesekian kalinya aku mengalami penyiksaan. Pemuda tadi bersama kedua temannya, langsung mengelilingiku. Aku hanya dapat bejongkok pasrah, aku menutup mata dengan kedua tanganku, hanya ini yang dapat aku lakukan setiap kali mereka menyiksaku. Kemudian mereka mulai menarik rambutku, memukulku, bahkan menendangku.



“Hah? apa yang dikatakan makhluk ini?”
“Entahlah mungkin otaknya mulai rusak, hahaha….”
“Hahaha… kau bertanya mengapa tikus sangat dibenci? apa kau bodoh? tentu saja karena mereka kotor.”
Lagi-lagi mereka tertawa terbahak-bahak —menertawakanku —kemudian mereka membalikkan badan, hendak pergi meninggalkanku.
“Kalau begitu jawablah…” tiba-tiba terdengar suara seorang pemuda yang membuat langkah mereka bertiga terhenti.
“Kalau begitu jawablah, mengapa tikus sangat dibenci?” lanjutnya lagi… pemuda itu membawa tongkat di tangannya, dan juga lilitan perban di matanya.



“Hah? siapa kau? jangan ikut campur!” ucap salah satu pemuda yang tadi menyiksaku.


“Eh? Kenapa? kenapa aku menangis? padahal aku tidak merasa sedih sama sekali… perasaan apa ini? apa ini yang disebut bahagia?” pikirku dalam hati.
“Kau baik-baik saja?” ucap pemuda itu, seketika aku langsung menghapus air mataku.
“I-iya… aku baik-baik saja,”
“Siapa namamu?” dia menjulurkan tangannya ke arahku.
“N-namaku Mira,”
“Mira… nama yang indah,” ucapnya, kemudian ia menarikku untuk berdiri.
“S-siapa namamu? kenapa kau menolongku? apa kau tidak jijik denganku?”
“Ahaha… kau banyak tanya juga ya….” sebuah senyum yang sangat indah terlihat di wajahnya.
“Namaku Alex, dan tentu saja aku aku akan menolongmu, seorang gadis yang lembut, suci, tanpa dosa… dan untuk pertanyaan terakhirmu… bukankah aku tadi sudah bilang kalau hal itu hanyalah sebuah diskriminasi tak masuk akal” j
“Gadis lembut… tanpa dosa? tapi semua orang berkata bahwa hidupku ini adalah sebuah dosa…” aku menatap wajahnya, dan sekali lagi aku melihat senyumannya.
“Kalau hidupmu adalah sebuah dosa….” ucapnya, kemudian ia berlutut di hadapanku, menyentuh halus tanganku. 


“Kau tahu… jika aku dapat menjadi sesuatu yang aku inginkan… maka aku ingin menjadi gadis normal di hadapanmu. Tapi setiap kali memikirkan ini, dadaku terasa sakit, dan aku terus bertanya… kenapa? kenapa harus aku yang berada di sisimu?” sambil mengucapkan kalimatku, aku menyentuh dadaku yang mulai terasa sakit.
“Kau tahu… kalau kau adalah gadis yang sangat baik?” sebuah senyuman terlihat di bibirnya.
“Tapi, kau selalu menyalahkan dirimu sendiri… mengapa kau berpikir seperti itu, apakah aku pernah berharap kalau dirimu adalah gadis normal?” lanjutnya, aku menjawabnya hanya dengan gelengan kepala.
“Ooh… tunggu di sini sebentar,” ia langsung berdiri dan berjalan ke balik pohon, setelah beberapa saat, ia kembali dengan membawa sesuatu di tangannya.
“Ini untukmu,” ucapnya sembari memberikan sebuah bunga kepadaku.
“Bunga lily?”
“Ya… bunga lily yang sangat putih, yang sangat cocok untuk gadis baik sepertimu”
“Terima kasih….”
Setelah itu kami, membicarakan berbagai hal, hingga rasa kantuk menyerangku, kemudian aku menyenderkan kepala pada bahunya.




“Aahh, ini pasti hukumanku… hukuman karena lupa siapa diriku dan juga hukuman karena telah jatuh cinta,”
“Lebih baik aku mati saja, kan? siapa saja jawab aku… lebih baik aku mati saja…” aku berteriak, menjerit, mengeluarkan seluruh emosiku, air mata mengalir deras di pipiku.
***
“Jadi… apa maumu sekarang?” ucapku.
“Bagaimana kalau kita pindah tempat, tidak enak kalau nanti kita membangunkannya, kan?” setelah menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba bau rerumputan hijau yang sebelumnya, telah hilang, digantikan oleh bau dari tanah liat yang mengeras.
“Jadi apa maumu?”
“Aku hanya penasaran… apa yang akan terjadi jika kau dapat melihat wajah menjijikkan gadis itu?”
“Apa maksudmu?” tanyaku penasaran.


“Bukankah aku sudah bilang sebelumnya, kalau aku pasti akan senang jika dapat melihat wajah gadis sebaik dia,”
“Heeh, baguslah kalau begitu… artinya permainan ini telah usai,” sekali lagi terlihat senyuman jahil di wajahnya.
“Haah, kau benar-benar dewi yang jahat,” ucapku.
“Tapi kau suka bukan… dengan akhir seperti ini?” aku hanya menghiraukan ucapannya dan berlari menuju dirimu.
***
“Lebih baik aku mati saja, kan? siapa saja jawab aku… lebih baik aku mati saja…” teriakmu, aku menghentikan langkah kakiku, kutarik nafas dalam-dalam kemudian aku berteriak,
“Jangan menangis!” mendengar teriakanku, kau langsung menoleh ke arahku.
“Jangan menangis… aku akan selalu ada di sisimu… sampai hari kita mati nanti,” kemudian aku berjalan ke hadapanmu, aku berlutut, mengelus kepalamu, memasangkan bunga lily di telingamu.
“Maka dari itu…”ucapanku terhenti, aku terkejut ketika melihatmu, melihat dirimu yang berubah menjadi gadis normal.
“Maka dari itu… mulai dari sekarang dan seterusnya… kau akan menjadi gadis normal, kau mengerti?”
“Eh? apa… maksudmu?” kau bertanya dengan wajah bingungmu.


anak sepertiku. Selama 10 tahun aku hidup sediri, hidup dalam penderitaan, dihina, dicaci maki, dikucilkan, disiksa.
Semua penderitaan itu aku alami karena tubuhku, —dengan rambut panjang berwarna putih yang sangat berbeda dengan semua orang, dan bekas luka di wajahku —semua orang merasa jijik melihatku. Siapapun yang melihatku pasti akan berkata,
“Dasar kau monster!”
“Kau bukanlah manusia seperti kami, pergi dari sini!”



Perkataan itu aku dengar setiap saat, di manapun, kapanpun, dan apapun yang aku lakukan, mereka tetap akan memperlakukanku seperti itu. Tapi, aku selalu berusaha untuk tidak memikirkan itu semua, —meskipun sebenarnya mustahil untuk menghiraukan perkataan yang sangat menyayat hatiku, tapi aku tetap berusaha —karena, jika aku terus memikirkannya… air mataku akan terus mengalir… tanpa henti, bahkan air mataku 


0 Comments for "The Name of The Sin"